MICEPLUS.ID – Tak banyak pameran seni besar di Indonesia. Andaikan ada, itupun dihelat oleh galeri-galeri seni. Salah satu yang terbesar dan konsisten adalah ARTJOG. Festival tahunan itu bermula pada 2009, yang menampilkan festival, pameran, dan pasar seni rupa kontemporer.
Sejak itu, ARTJOG menjadi pameran seni terbesar dan menjadi pusara pentas para seniman nasional dan internasional. Perhelatan itu digelar di Taman Budaya Yogyakarta hingga 2015, dan sejak tahun 2016 bertempat di Jogja National Museum (JNM).
Pada 2024, perhelatan ini dimulai sejak 28 Juni – 1 September 2024, dengan menghadirkan 84 seniman dewasa, remaja, dan anak-anak. Penyelenggara mengutip tiket Rp75.000 untuk dewasa, dan anak-anak 6-15 tahun Rp50.000. Sementara Balita digratiskan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam kunjungannya ke ARTJOG 2024 mengatakan festival yang mengusung tema “Motif: Ramalan, ARTJOG 2024” merupakan salah satu event yang masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN 2024) Kemenparekraf. “Ini merupakan salah satu event yang masuk dalam KEN dan ini adalah event kualitas tingkat dunia. Jadi saya ucapkan selamat untuk seluruh tim dari ARTJOG,” kata Menparekraf Sandiaga.
Ia mengaku terpukau dengan karya-karya para seniman, yang menurutnya sudah mencapai kelas dunia, “Ada karya yang menunjukkan bahwa setiap jalan yang terang belum tentu membawa kita menuju ke depan tetapi kita harus perhatikan sisi-sisi gelap dari sebuah kehidupan,” ujarnya.
Sandiaga berharap ARTJOG bisa menambah khazanah dari ekonomi kreatif nasional, terutama dari nilai tambahnya dan pesan-pesan yang disampaikan. Menurutnya, ARTJOG 2024 juga dapat menjadi contoh kasus tentang pelaksanaan event seni di berbagai daerah tanah air, “Terutama di Destinasi Pariwisata Super Prioritas, agar memiliki satu event yang dilaksanakan dalam waktu cukup panjang. Agar terdapat opsi tambahan bagi wisatawan untuk datang ke satu destinasi,” harap Sandiaga
Pameran seni ini juga menampilkan 800 karya seni anak, yang dikurasi oleh kurator seni Hendro Wiyanto. Beberapa karya anak yang dipamerkan mereka memiliki imajinasi seperti yang dirisaukan orang dewasa. Seperti soal korupsi dan semacamnya.
ARTJOG 2024 mengambil tema ‘Motif Ramalan’ para seniman dipersilakan mengangkat sejarah dan berimajinasi mengenai masa depan Indonesia, bahkan dunia pada masa mendatang. Sebagai sajian pembuka, pada beranda ARTJOG 2024 menampilkan karya Agus Suwage dan Titarubi. Mereka mengangkat tanaman padi sebagai materi seni instalasi.
Menurut Direktur dan penggagas Artjog Heri Pemad, karya Agus dan Titarubi dipilih sebagai karya yang ditempatkan terdepan, sekaligus sebagai karya fasad ARTJOG 2024. Agus menempatkan sembilan judul karya trimatra, berwujud pokok telinga manusia dengan berbagai ukuran.
Karya Agus menyapa pengunjung pertama kali saat masuk ruang pamer. Karya itu berupa seni instalasi tiang corong pelantang suara. Agus mengganti bentuk corong pelantang suara itu dengan cuping-cuping telinga. Di dinding sekeliling ruang pertama itu disusun berjajar sebanyak 151 tabung bening berisi gabah benih. Setiap tabung diberi tulisan nama jenis padi tersebut. Ini titik awal karya instalasi Titarubi.
Kedua seniman ini menaruh pesan berbeda. Melalui wujud telinga, Agus Suwage menghadirkan pesan betapa tolerannya telinga atas lenyapnya keheningan. Melalui 151 jenis padi lokal, Titarubi memberi pesan adanya kearifan lokal suatu komunitas yang perlu ditengok dalam mewujudkan ketahanan pangan dengan baik.
Kearifan lokal itu milik masyarakat Kasepuhan Ciptagelar atau Gelaralam di lereng Gunung Halimunan–Salak di wilayah Jawa Barat dan Banten. Titarubi untuk pertama kalinya mendapatkan izin membawa kultivar 151 dari 168 jenis padi lokal yang dimiliki Kasepuhan Ciptagelar keluar dari komunitas itu.
Titarubi membawa berbagai jenis padi lokal tersebut untuk ditampilkan di Artjog 2024. Ia pun menuturkan kegelisahannya terhadap ketanahan pangan nasional. Bermula pada Januari 2024, kala ia mendengar berita India mulai menghentikan ekspor beras, termasuk ke Indonesia. Harga beras pun membumbung naik, “Saya mulai meriset, apakah ini awal kehancuran dunia,” ujar Titarubi.
Sejak itu Titarubi memutuskan untuk mendatangi Kasepuhan Cipta Gelar, satu dari tiga kasepuhan yang ada di lereng Gunung Halimunan-Salak, Jawa Barat. Ia mendatangi Abah Ugi Sugriana Rakasiwi yang berusia 39 tahun.
Abah Ugi merupakan Ketua Adat Kasepuhan Cipta Gelar generasi ke 10, yang masih menjalankan tradisi ngalalakon atau bertani secara berpindah sejak 656 tahun silam atau tahun 1368. Pertama kali tradisi ngalalakon dimulai dari Cipatat Urug antara tahun 1368 hingga 1556, “Padi bukan hanya komoditas pangan, melainkan simbol kehidupan. Karena itulah, padi di sana disakralkan dan tidak boleh diperjualbelikan,” ujar Titarubi.
Komunitas Kasepuhan Cipta Gelar diperkirakan memiliki sekitar 15.000 leuit atau lumbung padi. Setiap lumbung menampung sekitar 1.000 ikat padi kering, setara 2,5 sampai 3 ton. Lumbung sebanyak itu tersebar di 568 kampung, “Dari lumbung padi sebanyak itu, diperkirakan membuat komunitas ini tidak akan kekuarangan pangan sampai 95 tahun ke depan,” kata Titarubi.
Kondisi Kasepuhan Cipta Gelar dengan stok padi berlimpah ternyata bertolak belakang dengan kegelisahan awal Titarubi. Di luar Kasepuhan Cipta Gelar terdapat ancaman kekuarangan pangan, terutama di kota-kota. Penyebabnya, banyak lahan sawah produktif dengan irigasi yang baik beralih fungsi menjadi pertokoan, perumahan, gudang dan pabrik. Lalu apa kabar dengan swasembada pangan kita? (ArtJog/Kompas.id/Kemenpar.go.id)