MICEPLUS.ID — Anda penggemar kudapan dari belalang atau jangkrik, dan merindukannya ngemil serangga itu di Singapura? Singapura bukanlah Gunung Kidul yang terkenal dengan hidangan belalang, ataupun Tulungagung yang memiliki laron goreng. Hari ini sulit menemukan cemilan serangga di Singapura, bahkan tak satupun resto di negeri itu menyajikan hidangan dari serangga.
Tapi jangan khawatir, sebentar lagi Singapura bakal ikut tren negara-negara lain yang memanfaatkan serangga sebagai sumber protein. Badan Pangan Singapura (SFA) menyetujui 16 spesies serangga yang dapat dimakan untuk dijual dan dikonsumsi di negara tersebut. Hal tersebut dimaklumat dalam surat edaran publik bertanggal 8 Juli 2024, yang ditujukan kepada pedagang makanan di negeri singa itu.
“Dengan segera, SFA akan mengizinkan impor serangga dan produk serangga dari spesies yang dinilai memiliki tingkat kekhawatiran peraturan yang rendah,” kata Badan Pangan Singapura (SFA) dalam rilisnya.
Serangga yang disetujui oleh SFA antara lain belalang, belalang sembah, ulat bambu, dan beberapa spesies kumbang. “Serangga dan produk pangan dari serangga ini dapat digunakan untuk konsumsi manusia atau sebagai pakan ternak untuk hewan penghasil makanan,” kata SFA, seraya menambahkan bahwa serangga tidak dapat “dipanen dari alam.”
Namun SFA juga menerapkan standar tinggi untuk kawanan serangga yang boleh dikudap, antara lain memiliki dokumen bahwa serangga diternakkan di lokasi yang diatur oleh otoritas yang kompeten. Seorang juru bicara mengatakan bahwa serangga yang tidak terdaftar “perlu menjalani evaluasi untuk memastikan mereka dapat dikonsumsi manusia.”
Seperti sebagian besar negara di dunia, memakan serangga di Singapura masih merupakan hal baru. Para peneliti telah mencatat lebih dari 2.100 spesies serangga yang dapat dimakan – banyak di antaranya mengandung vitamin dan mineral penting. Sekaligus berfungsi sebagai sumber protein tinggi yang berkelanjutan, dibandingkan dengan hewan ternak yang memproduksi metana.
“Serangga adalah sumber protein yang terabaikan dan merupakan cara untuk memerangi perubahan iklim,” menurut laporan Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2022. “Konsumsi protein hewani kita adalah sumber gas rumah kaca dan perubahan iklim. Mengkonsumsi serangga dapat mengimbangi perubahan iklim dengan banyak cara,” kata para peneliti.
Semut, jangkrik, dan bahkan tarantula biasa dimakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Kamboja. Serangga hidup biasanya dijual di Singapura sebagai makanan hewan peliharaan seperti burung penyanyi dan reptil, namun serangga ini bisa menjadi pilihan baru dan menarik bagi manusia.
Koki lokal, restoran, dan perusahaan makanan dan minuman telah bereksperimen dengan berbagai cara untuk menyajikan serangga dengan aman. Mereka tampil dalam hidangan seperti kepiting telur asin dengan cacing super dan produk seperti protein batangan.
“Seiring dengan berkembangnya industri serangga dan serangga merupakan makanan baru di sini, SFA telah mengembangkan kerangka peraturan serangga yang menetapkan pedoman agar serangga dapat disetujui sebagai makanan,” kata SFA.