Manusia berpikir Mars akan menjadi rumah baru, tapi bagaimana dengan bulan? Pertanyaan lanjutannya adalah makan apa pelancong di bulan.
Sejak Virgin Galactic membuka wisata ke luar angkasa sejak satu dekade terakhir, banyak miliader mengantri. Namun Virgin Galactic belum terpikir mendarat di Bulan. Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) justru bersiap mengirim manusia ke bulan melalui program Artemis. Program itu menggantikan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Segala kecanggihan teknologi sangat memungkinkan manusia mendarat kembali di bulan. Persoalannya, kudapan seperti apa yang layak di luar angkas? Mungkinkah manusia menikmati sepiring nasi Padang? Atau burger?
“Kudapan menjaga astronot tetap waras,” tutur Wakil Kepala Operasi Astronot di Badan Antariksa Eropa, Sonja Brungs. Ia menyambung, makanan yang layak dengan beragam variasi sesuai selera astronot menjadi jaminan keberhasilan misi luar angkasa, “Saya kira, para ilmuwan mengabaikan pentingnya makanan,” simpul Brungs.
Hari-hari astronot yang menegangkan, ternyata memang tak impas dengan kudapan harian mereka. Para pengarung antariksa itu hanya dibekali sekantong makanan kecil berisi kudapan siap saji. Dibuat dengan cara dikeringkan dan dibekukan, lalu distabilkan secara termal. Untuk memakannya, para astronot menambahkan air kemudian dipanaskan. Ini seperti makan Pop Mie di Indomaret atau Alfamart.
Lebih menyedihkan lagi, para astronot harus memperlakukan makanan secara khusus bila ingin membawa makanan rumahan. Persoalan pun bertambah, mereka dilarang membawa roti yang remahannya berkeliaran dalam lingkungan bergravitasi rendah. Jangan sampai remahan itu terhisap ke dalam peranti elektronik. Repotnya lagi, penggunaan garam dibatasi karena tubuh menahan natrium dengan cara berbeda di luar angkar.
“Astronot berada enam bulan biasanya mulai merindukan makanan rumahan, yang renyah dan bertekstur. Ini bisa mempengaruhi kesehatan mental mereka,” papar Brungs.
Pada 2021, NASA meluncurkan Deep Space Food Challenge untuk menghasilkan makanan di luar nagkas yang aman, bergizi, dan lezat serta minim limbah. Dari delapan perusahaan yang mengikuti tender, Solar Foods, yang berbasis di Helsinki, Finlandia, mengajukan inovasi yang keren. Mereka menggunakan limbah luar angkasa untuk memproduksi protein, “Kami memproduksi makanan dari udara tipis,” kata Wakil Presiden Solar Food Artuu Luukanen.
Solar Food menemukan mikroba di pertanian Finlandia, tumbuh dengan memakan karbon dioksida, hidrogen, dan oksigen untuk menghasilkan protein. Dari protein itulah bisa diproduksi beragam kudapan bergizi, mulai dari pasta hingga pengganti daging, bahkan protein pengganti telur.
Protein produk Solar Foods itu bisa diubah menjadi pasta atau bubuk. Bahkan bisa dicampur dengan tepung untuk menghasilkan pasta, bahkan coklat. Eksperimen terus dilakukan untuk mengetahui apakah dapat dicampur dengan minyak dan diubah menjadi tekstur steak, menggunakan printer 3D.
Makanan segar juga menjadi pertimbangan meskipun tablet vitamin dapat membantu, astronot membutuhkan produk segar, dan eksperimen terus berlanjut mengenai cara menanam sayuran di lingkungan unik tanpa gravitasi dan tanpa sinar matahari ini. ISS memiliki kebun sayur kecilnya sendiri, yang dikenal sebagai Veggie, tempat para astronot mempelajari pertumbuhan tanaman dalam gaya berat mikro.
Seiring dengan semakin besarnya peluang bagi perusahaan swasta untuk mengikuti perlombaan luar angkasa, semakin besar pula peluang bagi koki partikelir. Chef Rasmus Munk dari restoran berbintang Michelin, Alchemist di Kopenhagen, Denmark, termasuk di antara pelamar.
Munk baru-baru ini mengumumkan kemitraan dengan SpaceVIP untuk memberikan pengalaman bersantap di Spaceship Neptune milik Space Perspective, dengan harga tiket £397.000 ($495.000) per orang untuk perjalanan enam jam ke tepi luar angkasa.