MICEPLUS.ID — Popularitas Sumba meroket saat Lady Diana mengunjungi Pulau Moyo pada tahun 1993. Ia liburan untuk bersantai, melepaskan diri dari masalah perkawinannya dengan Pangeran Charles, yang kini menjadi Raja Inggris.
Ketenangan pariwisata di Sumba mengundang wisatawan kelas dunia, usai Lady Diana hadir di pulau itu. Sumba memang jauh dari hiruk-pikuk pembangunan yang berlebihan seperti yang terjadi di Bali. Para pelaku bisnis perhotelan yang baru datang, memulai aktivitasnya dengan menggabungkan bisnis hospitality dengan filantropi.
Mereka yang menjadi pionir seperti Claude Graves, mendirikan Sumba Foundation untuk mendukung proyek-proyek komunitas. Pada saat yang sama ia membangun sebuah resor untuk para peselancar di pulau itu pada 1989. Hotel tersebut sekarang menjadi Nihi Sumba, dan di bawah kepemilikan pemodal Amerika Chris Burch dan pengusaha hotel Afrika Selatan, James McBride.
Barulah para pengusaha perhotelan lain berdayangan, yang pada 2024 masuklah Cap Karoso, hotel berkonsep resor tropis dan modern di tepi barat pulau yang liar. Saking eksklusifnya, pasangan pengusaha hotel Fabrice dan Eve Ivara, menyediakan koki khusus yang dipanggil pada saat ada tamu. Para chef itu meracik hidangan dengan bahan-bahan yang ditanam di pertanian organik resor.
Para pemilih hotel selalu menjelaskan kepada tamu, mengapa tempat yang tenang ini layak mendapatkan perlakuan yang paling lembut dan paling ramah lingkungan. Terutama, untuk menjaga keasrian, auntentik, dan tentu saja nilai-nilai tradisionalnya.
Salah satu pengusaha hotel yang juga filantropis, Inge De Lathauwer mendirikan Sumba Hospitality Foundation pada tahun 2016. Sekolah hotelnya yang berfokus pada keberlanjutan untuk generasi muda setempat, yang dididik untuk suatu saat memiliki hotel ramah lingkungan, restoran, dan pertanian organik.
“Saat saya pertama kali datang ke Sumba pada tahun 2013, masyarakat belum terbiasa melihat turis. Mereka tertarik, dan terkadang terlihat sedikit marah – namun ketika saya tersenyum, saya akan mendapatkan senyuman lebar kembali,” kenang De Lathauwer.
Menurut pengamatan De Lathauwe, tidak ada seorang pun yang datang. Itulah salah satu alasan mengapa tempat ini masih asli dan berhasil mempertahankan budaya animismenya, “Penduduknya miskin dan tidak bersekolah, namun tempat indah ini akan berkembang. Saya ingin memberdayakan masyarakat, dan khawatir terjadi seperti Bali,” ungkapnya.
Awal mulanya, sebagai pendatang, ia dianggap memiliki agenda terselubung yang bakal merugikan masyarakat. Lalu Dempta warga lokal bergabung dengannya. Bergabungnya Dempta membawa perubahan drastic, dialah yang menurut De Lathauwe bisa mengkomunikasikan keinginan atau pendapat dengan para tetua, pemimpin suku, pendeta Marapu, dan calon siswa untuk bergabung.
“Saya awalnya memiliki ide untuk membangun resor ramah lingkungan, namun setelah menghabiskan lebih banyak waktu di sini, saya memutuskan untuk memulai sekolah hotel, yang juga akan menunjukkan bagaimana seharusnya pembangunan berkelanjutan, mulai dari daur ulang air dan panel surya hingga bangunan dengan bamboo,” paparnya.
Lebih dari 800 anak berusia 17 hingga 23 tahun dari latar belakang kurang mampu, kini mendaftar untuk 60 tempat, “Kebanyakan dari mereka datang tanpa bisa berbahasa Inggris, dan kami harus mengajari mereka tidak hanya bahasa tetapi juga cara berpikir yang benar-benar baru tentang diri mereka sendiri,” tegasnya.
Banyak yang kemudian bekerja di beberapa merek hotel terbaik dunia: tidak hanya Nihi di Sumba, tapi Belmond, The Ritz-Carlton, dan Aman. Tim De Lathauwe juga melatih mereka untuk menjadi pemandu yang baik. Mereka berangkat ke Bali atau Maladewa untuk belajar, dan membantu mereka terhubung dengan budaya mereka sendiri, “Dan menurut saya kami telah membantu mengajari mereka untuk bermimpi dan menggapinya,” ujar De Lathauwe dengan bangga.
Selain Inge De Lathauwe, ada pasangan Prancis, Fabrice dan Hawa Ivara yang berada di belakang berdirinya Cap Karoso, yang juga filantropis. Mereka membentuk komunitas ramah lingkungan, “Di Bali, kami mendengar bisikan tentang tempat ini, satu jam perjalanan ke arah timur. Saat kami tiba, kami merasa seperti mendarat di planet lain,” tutur mereka.
Mereka melihat Bali penuh kemacetan dan klakson, tapi Sumba benar-benar tenang, di mana mereka hampir tidak melihat mobil lain, “Rasanya seperti kembali ke masa lalu – saat perjalanan benar-benar terasa seperti perjalanan. Ada hubungan emosional yang mendorong kami untuk melakukan sesuatu di sini,” tutur Ivara.
Ia lalu membangun Cap Karoso, yang memiliki pantai sepanjang enam mil yang dikelilingi hutan, tidak ada apa pun di sekitarnya kecuali makam dan atap rumah tradisional yang menyembul dari balik pepohonan.
“Kami membenamkan diri dalam budaya lokal adalah sebuah pendidikan. Sebagai bagian dari prosesnya, kami harus mendapatkan restu dari tetua desa, yang melibatkan banyak ritual dan kopi yang sangat manis. Kami mengadakan dua upacara pemberkatan di tanah Karoso, dengan dukun, penari, dan kurban,” tutur Fabrice.
Ada lebih dari 600 orang pada pertemuan kedua pada tahun 2019 itu. Mereka pun menyaksikan dukun berusia 90-an dalam keadaan kesurupan dan berbicara dengan dialek lokal, “Saya merasakan air mata mengalir di mata. Ketika saya membacakan pidato singkat yang saya pelajari dalam dialek lokal, ada tepuk tangan meriah setelah setiap kalimat. Ada perasaan yang sangat emosional karena diterima di tempat yang istimewa,” kenang Ivara.
Cap Karoso dibangun berdasarkan konsep pariwisata keberlanjutan dan berbasis komunitas, dengan koki khusus yang didatangkan ketika ada tamu. Mereka menggunakan bahan-bahan lokal – yang merupakan diproduksi oleh komunitas, “Kami tidak ingin Anda merasa terasing dari tempatnya, namun tenggelam di dalamnya. Sumba bukannya tanpa gesekan seperti Seychelles atau Maladewa. Ini adalah perjalanan ke tempat yang sama sekali berbeda,” ungkap Fabrice.
Resor-resor di Sumba terkonsentrasi di bagian barat pulau, yang memerlukan waktu 90 menit berkendara melalui jalan yang sepi dan berdebu, dari Bandara kecil Tambolaka hingga resor seperti Nihi Sumba di selatan dan Cap Karoso di barat.
Terdapat pantai-pantai ajaib di wilayah tersebut, mulai dari tumpukan batu kapur Bwanna di barat daya hingga semi-laguna Mandorak di ujung barat dan muara Pero, tempat sampan cadik kayu para nelayan berkumpul di perairan jernih.
Di Laguna Weekuri dekat Mandorak, penduduk setempat menyewa cincin karet dan mengapung dengan tenang saat Samudera Hindia menerobos lubang sembur di salah satu ujungnya. Ada baiknya juga menjelajahi bagian timur pulau yang lebih kering, dengan pohon cendana dan perkebunan jambu mete. Wilayah barat Sumba itu, juga menyediakan wisata air terjun Lapopu yang bertingkat, air terjun dan gua Waikelo Sawah, dan lubang renang Waimarang, yang mengingatkan kita pada cenote Meksiko.
Desa-desa kampung tradisional tersebar di seluruh pulau, seperti Ratenggaro di barat, dengan rumah-rumah jerami dan makam megalitik menghadap muara indah dengan pasir putih dan air biru kehijauan yang tenang.
Resor Berkonsep Pariwisata Berkelanjutan dan Berbasis Komunitas
Nihi Sumba
Nihi Sumba menawarkan tarif £1.215 semalam, masih menjadi penginapan paling terkenal di pulau ini. Nihi Sumba memiliki 28 vila beratap jerami di antara pepohonan kamboja, dengan kolam berendam tanpa batas dan pelayan pribadi untuk mengatur kegiatan menunggang kuda saat matahari terbenam di pantai.
Alamayah
Berada di pantai barat daya, Alamayah dengan tarif £155, adalah hotel butik yang menghadap ke selancar dengan enam suite, yoga di puncak gedung, dan restoran.
Cap Koroso
Resor Cap Karoso menetapkan biaya sewa £185, memiliki 47 kamar tidur dan 20 vila, termasuk rumah tepi pantai dengan kolam laguna.
Maringi Sumba
Lebih dekat ke bandara dan pantai Mananga Aba yang indah di utara, Maringi Sumba. Disewakan dengan biaya £105 adalah resor ramah lingkungan, dengan tanaman bambu yang subur milik Sumba Hospitality Foundation. Resor ini memiliki staf lokal yang baru terlatih, sembilan kamar tidur dan vila, serta makanan Sumba yang lezat dari pertanian permakultur yang dimiliki oleh Sumba Hospitality Foundation.