MICEPLUS.ID — Di timur Pulau Bali, setelah deretan pulau-pulau besar, sampailah Anda di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Di pulau itu, pantai-pantai dengan air sebening kaca dengan pasir lembutnya bisa membuat pelesiran benar-benar menjadi healing – jiwa raga Anda kembali sehat.
Di pantai pasir putih yang lembut dengan pepohonan kelapa yang rindang, kuda-kuda yang dilepasliarkan penduduk berlarian di sepanjang pantai. Mozaik alam ini seperti lukisan yang ditempel di dinding-dinding galeri eksklusif.
Sumba memang sedang jadi bahan perbincangan wisatawan mancanegara, kawasan yang tenang namun seindah Bali. Plusnya lagi, jauh dari ingar-bingar Bali yang sudah overtourism. Bukan hanya bentang alamnya yang indah, masyarakat Sumba juga masih berpegang teguh pada tradisi budayanya.
“Saya baru menyadari budaya kami sangat istimewa justru setelah merantau ke luar kampung halaman untuk belajar. Di Sumba, kami percaya bahwa nenek moyang kami hidup di pepohonan, batu, dan laut, dan kami perlu hidup harmonis dengan mereka,” ujar Bato yang bekerja untuk LSM di bidang pendidikan dan perlindungan anak, di kampung halamannya.
Bato yang juga seorang manajer Sumba Hospitality Foundation, yang melatih penduduk setempat untuk bekerja di hotel-hotel terkemuka dunia, mengatakan itulah sebabnya rumah adat Sumba berupa rumah bambu beratap Jerami memiliki lantai tiga, “Lantai teratas hanya diperuntukkan bagi nenek moyang kami. Lantai tiga tersebut juga tidak pernah dikunjungi anggota rumah tangga. Atapnya sangat tinggi menciptakan hubungan yang lebih kuat dengan roh,” sambungnya.
Meskipun warga Sumba tidak memeluk agama Hindu sebagaimana masyarakat Bali, menurut Bato, budaya Sumba selalu dilandasi ritual, seperti upacara pernikahan dan pemakaman yang panjang, pemberkatan dan festival perdukunan.
“Pasola, festival panen, terjadi pada bulan Februari atau Maret, ketika para pemimpin klan akan melihat bulan dan kedatangan cacing laut di pantai, kemudian memutuskan waktu yang tepat untuk memulai perayaan,” ujar Bato.
Pasola diawali dengan peperangan antara anggota klan, yang bertarung di atas kuda dengan tongkat. Polisi pun tidak terlibat jika ada yang terluka. Sulit untuk melihatnya, namun pengunjung selalu diterima di dalam ritual ini oleh warga desa setempat.
Bentang alam Sumba memanjakan wisatawan dengan danau-danau yang dikepung hutan kecil. Pantainya memiliki ombak untuk selancar. Juga hamparan perbukitan batu kapur kering yang terasa hampir seperti sabana Afrika. Sumba yang memiliki wilayah dua kali Bali itu, memiliki sistem kepercayaan yang disebut sebagai Marapu, yakni keyakinan untuk selalu memuja roh nenek moyang, yang mereka yakini tinggal di sekitar mereka.

Makam para nenek moyang itu, ditandai dengan megalitikum yang megah. Di desa- desa yang rumah-rumahnya beratap jerami dan runcing, para perempuan mengunyah sirih sambil memintal beberapa kain ikat – yang rumit dengan pola geometris kerang dan hewan. Kain-kain tersebut iwarnai dengan daun nila, kulit akar, dan kunyit yang ditumbuk.
Sumba hari ini merupakan destinasi wisata yang sepi, dengan penduduk yang ramah. Tanpa pusat perbelanjaan. Liburan pun tenang dan nyaman tanpa kemacetan dan suara klakson yang membahana.