MICEPLUS.ID — Toko serba ada di Korea Selatan kerap menampilkan wajahnya dalam opera sabun alias drakor. Atau muncul dalam film dokumenter tentang kota-kota di negeri ginseng. Sejatinya seberapa hebat toko-toko itu sehingga menarik minat wisatawan?
Ilustrasinya bisa seperti ini, Anda perlu mengambil paket, atau mengisi ulang kartu metro – tiket kereta bawah tanah –, makan siang, hingga mengambil uang tunai. Aktivitas ini tentu bisa merepotkan, karena harus bergerak ke beberapa tempat: kantor pos, stasiun kereta, dan bilik ATM. Tapi di Korea Selatan, cukup datang ke convenience store alias toko serba ada.
Kepraktisannya toko-toko serba ada itu bagi warga lokal – apalagi bagi wisatawan – menjadikan Korea Selatan sebagai raja toko serba ada dunia. Para selebritas dan influencer media sosial dan wisatawan bergabung dengan penduduk setempat untuk berbondong-bondong mengunjungi toko-toko yang jumlahnya berkembang pesat di seluruh negeri.
Saat warga dan wisatawan – apalagi selebritas media sosial – menunjukkan cara menyeduh mi dan membuat minuman dingin di toko serba ada, jutaan orang menyaksikan aktivitas itu, dan menelan liur membayangkan kelezatan mie instan dan segarnya minuman ringan itu.
Popularitas toko serba ada itu, terus mendorong pembukaan toko-toko baru. Pada 2023 misalnya, terdapat lebih dari 55.200 toko serba ada di negara berpenduduk 52 juta jiwa tersebut, menurut Asosiasi Industri Toko Serba Ada Korea – kira-kira satu toko untuk setiap 950 orang.
Jumlah tersebut melebihi jumlah total cabang McDonald’s di seluruh dunia – dan menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan kepadatan toko per kapita tertinggi, melampaui Jepang dan Taiwan, yang keduanya juga terkenal dengan toko serba ada yang berlimpah dan serba guna.
“Industri toko serba ada di Korea Selatan menonjol karena kepadatannya yang luar biasa dan strategi inovatifnya,” kata Chang Woo-cheol, profesor pariwisata dan industri jasa makanan di Universitas Kwangwoon di Seoul. “Mereka telah menjadi saluran ritel penting, dengan pangsa penjualan ritel offline terbesar kedua di negara ini.”
Hal ini sangat berbeda dengan Amerika Serikat, di mana minimarket biasanya berada di dekat pompa bensin atau mal dan jarang terlihat di kawasan pemukiman – akibat adanya undang-undang zonasi. Di kota-kota besar di Korea Selatan seperti Seoul, toko serba ada ada di setiap sudut, terkadang terdapat beberapa gerai dari perusahaan yang berbeda yang tersebar di jalan yang sama. “Toserba buka 24 jam sehari dan memainkan peran penting dalam kehidupan kita yang sibuk,” tambah Chang – menyebut industri Korea Selatan sebagai “kisah sukses global.”
Toserba di Korea Selatan Menawarkan Barang yang Berbeda-Beda
Terdapat beberapa varian toko serba ada alias toserba. Ada yang menawarkan segalanya mulai dari makanan dan minuman hingga perlengkapan rumah tangga dan layanan gaya hidup. Di toko-toko ini, pelanggan dapat mengisi daya ponsel mereka, membayar tagihan listrik, menarik uang tunai, melakukan pemesanan online dan menerima pengiriman – dan, di lokasi tertentu, bahkan mengisi daya skuter listrik mereka, menukar mata uang asing dan mengirim surat internasional.
“Toko serba ada di Korea bukan hanya tempat di mana orang dapat (duduk) mengelilingi meja di antara tumpukan kaleng bir di malam musim panas, tetapi juga menyediakan layanan penting,” ulas Deloitte Korea dalam laporan tahun 2020. Laporan itu menggambarkan toko-toko serba ada di negara tersebut “memanjakan pelanggan mereka dengan kenyamanan ekstrim.”
Lalu ada toserba yang mengkhususkan diri pada makanan – beragam mulai dari sup miso instan hingga mie instan dalam berbagai rasa, makanan ringan seperti kimbap dan onigiri, dan perlengkapan makan siap saji. Pengelola pun menyediakan area tempat duduk di dalam toko, microwave, dan dispenser air panas, dan toko-toko ini telah menjadi tempat yang tepat bagi para pekerja kantoran untuk makan siang sebentar, bahkan pengunjung pesta yang membutuhkan semangat di malam hari, dan para siswa yang mengisi perut sebelum mengikuti kelas sekolah yang melelahkan.
Toko-toko itu bertambah terus akibat lonjakan urbanisasi di Korea Selatan, kata Chang, profesor perhotelan. Lebih dari 80 persen penduduk Korea Selatan kini tinggal di pusat kota, dan banyak penduduk yang meninggalkan daerah pedesaan untuk menetap di kota.
Faktor lainnya adalah demografi. Semakin sedikit penduduk Korea Selatan yang menikah atau memulai keluarga, yang berarti jumlah rumah tangga yang hanya dihuni oleh satu orang saja – dan seringkali dengan anggaran yang lebih ketat, mengingat kesulitan ekonomi yang dihadapi banyak orang dewasa muda.
Pada tahun 2021, sekitar 35 persen dari seluruh rumah tangga di Korea Selatan adalah penduduk lajang, menurut laporan McKinsey yang dirilis Maret lalu. Dan tidak seperti pasangan atau keluarga besar, yang mungkin lebih suka memasak di rumah dan membeli dalam jumlah besar dari toko kelontong, penduduk lajang lebih memilih pilihan yang murah dan mudah di toko swalayan atau memesan secara online.
Pandemi Covid-19 juga berkontribusi pada tren ini, dengan masyarakat yang lebih memilih memesan secara online atau membeli barang dengan cepat dari toko terdekat dari rumah, tambah laporan itu. Perusahaan telah memanfaatkan tingginya permintaan ini, dengan membuka toko secara strategis di dalam tempat bisnis atau lokasi hiburan. Misalnya, Seoul memiliki toko serba ada di bar karaoke dan pusat seni kota, kata laporan Deloitte.
Semua ini menghasilkan keuntungan besar. Antara tahun 2010 dan 2021, pendapatan toko serba ada di Korea melonjak lebih dari empat kali lipat dari US$5,8 miliar menjadi US$24,7 miliar, melampaui supermarket dan department store tradisional, menurut McKinsey, mengutip perusahaan riset pasar Euromonitor yang berbasis di London.
Toko serba ada ini tidak hanya populer di dunia nyata – mereka juga mendapatkan daya tarik di media sosial, mencerminkan fenomena global yang banyak orang sebut sebagai “gelombang Korea.” Ekspor Korea Selatan telah melanda dunia dalam dua dekade terakhir, mulai dari K-pop dan drama TV Korea hingga produk kecantikan, fesyen, dan makanan.
Jiny Maeng, pembuat konten asal Australia yang lahir di Korea Selatan, mulai membuat video dengan topik toko serba ada, setelah melihat klip serupa menjadi viral secara online. Toserba adalah kontennya yang paling banyak dilihat, dengan tiga video YouTube teratasnya memperoleh total 76 juta penonton – dan tambahan beberapa juta penonton masing-masing di TikTok dan Instagram.
“Korea sendiri menjadi tren… di media sosial,” katanya. “Saya kira itu juga mengapa (toko serba ada) begitu populer, karena orang-orang sekarang mengidolakan pergi ke Korea, itu hanyalah salah satu lokasi impian yang ingin dikunjungi orang. Jadi, melihat video-video ini diambil alih secara online adalah pengalaman yang sangat keren bagi orang Korea, sebenarnya.”
Salah satu hal yang dinikmati penonton adalah kepuasan indera saat Maeng memajang produk-produk toko swalayan, katanya – termasuk suara kemasan yang dirobek atau bunyi “gelas es” plastik sebelum diisi minuman.
Menurutnya, tayangan video mengenai toserba juga populer di kalangan pemirsa Australia dan Amerika karena faktor kebaruannya. “Membeli, memasak, dan makan mie ramen instan di toko swalayan adalah hal yang “mengejutkan” bagi mereka yang terbiasa dengan toko bergaya Barat yang lebih sederhana,” katanya.
Dia mencontohkan bisnis di Sydney, tempat dirinya menetap. Banyak kafe dan toko lain tutup pada pukul 15.00 – sangat dini menurut standar Korea. Dan meskipun Australia memiliki toko 7-Eleven, seperti di AS, toko tersebut biasanya terhubung dengan pompa bensin dan memiliki pilihan makanan olahan yang “sangat terbatas” seperti pai daging, sandwich, donat, dan slushies, katanya.
Chang mengatakan Youtube telah membantu mendorong popularitas toko serba ada di Korea. “Kombinasi antara kekhasan dan pemasaran efektif mereka melalui media sosial telah meningkatkan popularitas mereka,” katanya.
Memang benar, perusahaan toko serba ada di Korea telah berkembang begitu sukses hingga mereka berekspansi ke luar negeri. Tiga merek terbesar – CU, GS25, dan Emart24 – kini memiliki toko di beberapa wilayah Asia Tenggara termasuk Vietnam dan Malaysia.
Dia mendesak industri toserba untuk terus berkembang dengan memanfaatkan media sosial dan “pengaruh gelombang budaya Korea,” dan meminta dunia usaha harus melakukan lebih banyak upaya untuk bertahan dalam persaingan (global) ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita punya Indomaret dan Alfamart, namun tak semuanya berstandar seperti toserba di Korea Selatan. Apalagi Indonesia belum memiliki pemicu sebagaimana Korea memiliki gelombang budaya, yang menciptakan demam Korea di mana-mana.